Serang- 07 September 2025. Di Jakarta, ribuan orang berlarian menghindari gas air mata. Poster tuntutan masih basah oleh hujan, suara orasi pecah jadi teriakan amarah. Polisi berlapis tameng, mahasiswa berlapis keringat. Beberapa gedung pemerintahan jadi sasaran lemparan batu, beredar cepat di timeline.
Hanya dua jam perjalanan dari sana, suasana kontras terasa di Kota Serang. Jalanan bukan dipenuhi poster tuntutan, melainkan perahu-perahuan bambu berwarna-warni. Alih-alih megafon, terdengar lantunan salawat. Alih-alih air mata, ada tawa anak-anak yang menunggu berebut telur rebus dari “panjang”—tandu hias khas tradisi Panjang Maulid.
Ritual Kolektif yang Sama-Sama Panas
Demonstrasi dan Panjang Maulid mungkin terlihat jauh berbeda: satu penuh amarah politik, satu lagi penuh doa dan pesta rakyat. Tapi dari kacamata sosiologi, keduanya punya akar yang sama: ritual kolektif. Émile Durkheim akan bilang, ini semua tentang solidaritas sosial. Bedanya, di Jakarta solidaritas dibangun lewat resistensi terhadap negara; di Serang, solidaritas dipelihara lewat doa dan gotong royong membuat hiasan panjang.
Keduanya sama-sama mengisi ruang publik. Sama-sama menandai: “kami ada, kami satu suara.” Hanya caranya yang berbeda—teriakan vs lantunan salawat, batu vs telur rebus.
Jejak Kesultanan, Jejak Perlawanan
Tradisi Panjang Maulid sendiri bukan ritual baru. Sejak era Kesultanan Banten, perahu-perahuan ini sudah diarak sebagai simbol kemakmuran dan dakwah. Bahkan dulu, itu juga semacam “demonstrasi kekuasaan”—cara Sultan menunjukkan hubungan erat dengan Mekkah sekaligus legitimasi politiknya. Jadi jangan kira tradisi ini steril dari urusan kuasa.
Hari ini, Panjang Maulid masih bertahan. Tapi sama seperti demonstrasi yang dihadapkan pada aparat, Panjang Maulid juga terancam direduksi jadi sekadar tontonan festival atau komoditas wisata. Roh aslinya—spiritualitas, kebersamaan—bisa terkikis.
Dua Jalan, Satu Kerinduan
Jakarta dan Serang, dua kota yang berjarak tak lebih dari seratus kilometer, tapi seperti berada di dunia yang berbeda. Di Jakarta, orang-orang berteriak menuntut perubahan. Di Serang, orang-orang bersalawat menuntut berkah. Satu lahir dari frustrasi, satu lahir dari syukur.
Dan di antara keduanya, ada benang merah yang sama: kerinduan akan hidup yang lebih adil, negara yang lebih peduli, dan ruang sosial yang bisa benar-benar dimiliki bersama.
Mungkin Indonesia memang selalu bergerak di antara dua kutub ini: amarah dan doa, protes dan perayaan, gas air mata dan telur rebus. Dan entah kita ada di pihak yang mana, keduanya sebenarnya sedang bicara hal yang sama—tentang keinginan sederhana: untuk hidup lebih baik di tanah yang sama.
Selamat Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah
Hajirocker Foundation