Di Malang, September 2025. Ada cerita kecil tapi penting dari Piala Soeratin Nasional U-15. Persipan Pandeglang, tim muda yang datang membawa nama Banten, mungkin tidak mengangkat trofi juara, tapi mereka pulang dengan sesuatu yang jarang dibicarakan: Penghargaan Fair Play.
Langkah mereka terhenti di babak 8 besar setelah bertemu PS Freeport. Skor mungkin tidak berpihak, tapi sepanjang turnamen, Persipan dikenal bermain bersih, disiplin, dan respek ke siapa pun yang ada di lapangan. Dari lawan sampai perangkat pertandingan, semua merasakan hal yang sama: tim ini tahu cara bertarung tanpa harus mengorbankan sportivitas.
“Bagi kami, penghargaan ini adalah kemenangan moral. Anak-anak sudah membuktikan bahwa sepak bola bukan hanya soal papan skor, tapi juga bagaimana menjaga nama baik tim dan daerah dengan sikap sportif,” kata Hajirocker, perwakilan manajemen tim, usai laga terakhir.
Di usia 15 tahun, mungkin para pemain muda ini belum sepenuhnya paham betapa pentingnya label Fair Play yang mereka bawa pulang. Tapi buat mereka, inilah bekal yang lebih besar dari sekadar piala: pelajaran tentang karakter, mentalitas, dan bagaimana sepak bola bisa jadi ruang untuk tumbuh, bukan hanya untuk menang.
Persipan Pandeglang U-15 juga tidak berdiri sendiri. Ada Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Provinsi Banten, Young Warrior Football Academy, Tip Top Swalayan, Pandeglang Raya Group, orang tua pemain, hingga masyarakat Banten yang terus mengawal perjalanan mereka. Dukungan itu membuktikan bahwa sepak bola, terutama di level usia muda, selalu lebih dari sekadar pertandingan. Ia adalah kerja kolektif.
Mungkin nama Persipan Pandeglang belum sering muncul di headline nasional. Tapi dari Malang, mereka sudah menuliskan sesuatu yang akan diingat: bahwa kemenangan bisa hadir dalam bentuk lain. Dan kali ini, bentuk itu bernama Fair Play.