Serang, 3 Agustus 2025 — Forum Tadarus Menghidupi Kota menggelar pertemuan ketiga sebagai langkah awal menuju Kongres Kebudayaan Kota Serang. Inisiatif ini lahir dari kebutuhan nyata untuk menyatukan berbagai elemen budaya, komunitas, dan pemerintah dalam merumuskan kebijakan budaya yang inklusif dan berkelanjutan.
Aliyth membuka diskusi mengutip Halim HD, “Kota terbentuk dari konfederasi kampung.” Ia menegaskan bahwa respons kebijakan terhadap gelombang gerakan kebudayaan masa lalu akan mengubah wajah Serang hari ini.
Iwan Subakti mengenang keterlibatannya sejak 1998 melalui milis “Wong Banten” dan forum daring yang memantik mimpi mendirikan Gedung Kesenian Banten. Ia juga menyebut aksi simbolik mempertahankan Gedung Makodim—melalui spanduk demonstrasi, pertunjukan jalanan, dan sketsa massal—sebagai bentuk perlawanan kreatif.
Mahdi Duri menyoroti romantisme perlawanan yang menyatu dengan tantangan infrastruktur: antara intimidasi dan semangat kolektif yang menguat. Ia mengusulkan pendirian Taman Budaya, pendataan berbasis regional, dan anggaran yang adil bagi para seniman.
Uyi dari Kampung Kasepuhan Kapuren memaparkan ritual ruat bumi, upacara tahunan yang melibatkan arak-arakan kerbau, doa bersama, dan simbol penguburan kepala kerbau. Ia berharap pemerintah memberikan dukungan substantif bagi kelangsungan tradisi kearifan lokal ini.
Mang Ripin menekankan potensi besar masyarakat Bugis Karangantu dalam lanskap budaya Banten yang hingga kini kurang terekspos dalam kebijakan publik.
Aldi mengkritisi dokumentasi budaya pemerintah yang belum memadai, menyoroti kesenjangan antara data warisan budaya takbenda dan realitas di lapangan.
Mang Aip menyampaikan urgensi pembentukan Peraturan Daerah Pemajuan Kebudayaan serta penetapan standar honorarium bagi pelaku seni sebagai bentuk pengakuan ekonomi atas kerja budaya.
Frans Seda dari Komunitas Gusdurian menyerukan inklusi penuh masyarakat dalam perumusan kebijakan budaya, mengingat naskah akademik sering kali hanya berakhir sebagai formalitas.
Friska mengingatkan bahwa pembangunan kebudayaan haruslah kolektif, bukan top-down, agar mencerminkan aspirasi beragam aliran dan komunitas.
M. Alfariz menyoroti tantangan aktivisme yang tertutup, mengajak agar kongres benar-benar merepresentasikan keberagaman latar belakang, termasuk perspektif keislaman.
Himpunan Mahasiswa Serang menutup pertemuan dengan harapan agar kongres menjadi ruang ekspresi dan pengalaman bersama, bukan sekadar seremoni.
Sebagai tindak lanjut, Forum Tadarus Menghidupi Kota akan mengadakan Forum Konsolidasi di enam kecamatan, didampingi Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, sebagai fondasi pelaksanaan Kongres Kebudayaan Kota Serang.